News

Rapat Perubahan PP No. 1 Tahun 2019 – 21 Februari 2023

Sehubungan dengan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Daya Alam, Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadakan Rapat Perubahan PP No. 1 Tahun 2019. Dalam rapat ini diinformasikan Hasil Kesepakatan Rakor Menko 7 Feb 2023 yang berisikan bahwa komoditas yang wajib masuk ke dalam ketentuan revisi PP No 1 Tahun 2019 adalah komoditas SDA dan hasil hilirisasi SDA, yang mana jenis komoditas tersebut nantinya dituangkan di dalam revisi KMK No 744 Tahun 2020. Pengaturan konversi valas DHE SDA menjadi Rupiah di dalam revisi PP dapat dilakukan pada saat kondisi tertentu dan disebutkan secara normatif di dalam revisi PP. Sementara teknis pengaturan akan dituangkan di dalam PBI yang berdasar kepada kondisi perekonomian.  Retensi atas DHE SDA akan dikenakan kepada eksportir yang memiliki nilai PPE ≥ USD 250.000, dengan nilai retensi sebesar 30% dari penerimaan DHE ( incoming transfer ) dan waktu pelaksanaan retensi adalah selama 3 bulan. Bank Indonesia akan memberikan insentif kepada perbankan yang ditunjuk dimana perbankan tersebut tidak perlu menyetorkan Giro Wajib Minimum ( GWM ) dan Rasio Intermediasi Makropudensial ( RIM ) atas dana DHE di dalam reksus yang di teruskan masuk ke dalam BI. Selain itu juga akan diberikan pembebasan premi dari LPS sebesar 20 basis poin. Pemberian insentif lainnya ( termasuk insentif fiskal ) akan diatur sesuai dengan perkembangan situasi ekonomi dan portofolio konversi. Sanksi terhadap eksportir yang melanggar ketentuan adalah langsung dikenakan penangguhan ekspor, sehingga tidak perlu lagi ada peringatan tertulis dari Bank Indonesia.  Penyusunan revisi PP No 1 Tahun 2019 ditargetkan akan selesai pada akhir bulan Februari 2023.  Periode transisi disepakati selama 3 ( tiga ) bulan, sehingga revisi PP No. 1 Tahun 2019 akan diberlakukan 3 bulan setelah revisi PP terbit. Selama proses transisi, Kementerian/Lembaga harus menyelesaikan peraturan turunan revisi PP No. 1 Tahun 2019, antara lain Peraturan Menteri Keuangan ( PMK ), Keputusan Menteri Keuangan ( KMK ), Peraturan Bank Indonesia ( PBI ) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ( POJK ). Beberapa masukan yang dikemukan oleh peserta mengatakan bahwa dalam revisi PP no 1 tahun 2019 untuk retensi sebesar 30% sangat menyulitkan pengusaha perikanan, karena saat ini margin profit masih rendah ( terkadang dibawah 10% )  imbas dari pandemi covid-19 kemarin, sehingga bagaimana bisa perusahaan bisa berjalan jika PP ini di implementasikan. karena pada dasarnya cash flow UPI itu sangat cepat dan berlangsung terus menerus terutama untuk keperluan pembelian bahan baku yang tidak bisa ditunda pembayarannya. Dari sisi harga bahan baku saja UPI sudah kalah dengan competitor dinegara lain,  belum lagi pengenaan tarif yang masih tinggi dibeberapa negara tujuan ekspor, akibatnya daya saing produk perikanan Indonesia semakin ketinggalan. Sebagai perumpamaan kalau dikenakannya retensi tentunya pembayaran ke nelayan/petambak akan sangat mengganggu apalagi nelayan/petambak kecil yang memang perlu dana segera. Kalau memang tujuannya untuk pembangunan ekonomi dan arahan hilirisasi di sektor perikanan, harusnya pemerintah banyak memberikan fleksibilitas dan insentif-insentif untuk membuat sektor perikanan ini menjadi menarik dan berinvestasi, karena secara tidak langsung sektor ini juga banyak membantu perekonomian di daerah, contohnya dengan bermitra dengan nelayan/petambak lokal, UPI membeli hasil tangkapan/budidayanya. Selain permasalahan retensi, yang menjadi focus di rapat ini adalah di pasal 9, dimana baiknya sanksi administratif berupa peringatan tertulis semisal diberikana kesempatan sebanyak 3 kali untuk di perbaiki atau dilengkapi, jika setelah 3 kali tidak diperbaiki maka bisa dikenakan penangguhan atas pelayanan ekspor, sehingga upi juga ada waktu untuk perbaiki dan upi yang tidak peduli akan kena sanksi tersebut. Hal ini ditakutkan kalau langsung dikenakan penangguhan atas pelayanan ekspor, maka ekspor UPI akan terganggu.

Tinggalkan Balasan